Gereja Katedral Anglikan Seoul hampir penuh pada Minggu pagi itu. Jemaat dengan hikmat melantunkan kidung rohani tradisional ditemani dengan alunan organ.
Park Hyun-jung ada di antara jemaat itu. Dia merupakan seorang perempuan biasa berusia 30 tahun. Dia tinggal di Ibu Kota Seoul, Korea Selatan, dan sejak kecil dididik oleh orang tuanya yang pemeluk Kristen Anglikan supaya taat dalam beragama. Dia masih melakukan itu, tetapi tidak sebaik di masa lalu.
Berkembang di kota besar dan masuk ke dunia dewasa membikin Park mesti keputusan penting buat kehidupannya. Dia harus kuliah dan lulus, kemudian bekerja, lantas menikah. Tanpa terasa semua kesibukan begitu menyita waktunya. Dia semakin jarang pergi ke gereja. Paling setahun cuma dua atau tiga kali.
“Aku sibuk banget hanya buat mengurus anak dan mengatur rumah tangga. Aku sampai sulit mencari waktu buat melakukan hal lain,” kata Park.
Bukan cuma Park yang mengalami hal itu. Kebanyakan muda-mudi Nasrani di Korea Selatan semakin jarang beribadah ketika mulai dewasa. Pola pikir sekuler kini lebih mengambil alih isi kepala anak muda di sana. Sebagian pakar mengatakan hal itu akibat kaum muda di sana terlalu disibukkan oleh sistem pendidikan dan urusan mencari pekerjaan, ketimbang menyisihkan waktu buat kegiatan ibadah.
Padahal di sebagian besar kota di Korea Selatan, jumlah gereja lebih banyak ketimbang pusat perbelanjaan. Sekitar 20 persen warga di sana mengaku memeluk Protestan, dan mereka menjadi mayoritas. Sedangkan 15 persen beragama Buddha, dan delapan persen mengaku Katolik.
Mulanya, animo orang Korea Selatan memeluk agama yang terorganisir seperti Nasrani melonjak selepas Perang Korea pada 1950 sampai 1953. Waktu itu misionaris Amerika Serikat berdatangan buat membantu merehabilitasi korban perang dan kerabat yang terpisahkan akibat konflik itu. Namun kini menurut Badan Statistik Korea, muda-mudi di sana sebagian besar memilih tidak beragama. Jumlahnya pun meningkat dari 47 persen pada 2005 menjadi 56 persen sepuluh tahun kemudian, seperti dilansir dari laman Al-Jazeera.
Sedangkan menurut penelitian Gallup Korea pada 2015 juga menunjukkan hal sama. Jumlah pemuda di umur sekitar 20-an tahun yang mengaku beragama sekitar 31 persen. Padahal ketika riset itu dimulai satu dekade sebelumnya mencatat jumlah 46 persen.
Pihak gereja sadar tentang kesadaran beragama muda-mudi Korea Selatan semakin menurun. Mau tidak mau mereka harus berpikir bagaimana cara memikat mereka supaya mau mendalami agama. Gereja Katedral Anglikan Seoul lantas mencoba beberapa cara. Mereka membikin kelas minggu menjadi lebih ‘kekinian’ dengan membuat acara semacam bincang-bincang mirip di televisi. Materinya juga dibongkar. Yakni lebih banyak membicarakan masalah seputar pemuda sehari-hari dengan luwes, ketimbang membahas literatur yang berat-berat.
Jejaring Gereja SaRang memilih jalan masuk ke dunia digital. Mereka mengembangkan aplikasi ponsel pintar buat membantu muda-mudi mempelajari Alkitab dari ponselnya.
Meski tidak bisa dihindari, tetapi ada pendapat menyatakan ponsel pintar membikin pemuda Korea Selatan tidak lagi gemar membaca kitab suci. Malah karena hal itu, tahun lalu para pemuda di sana menggelar acara bertajuk ‘Uprising’, dimaksudkan supaya para muda-mudi di sana melupakan sejenak urusan melalui ponsel mereka dan beribadah bersama.
Menurut Pendeta di Gereja Katedral Anglikan Seoul, Nak-hyon Joseph Joo (49), dia beruntung memiliki jemaat muda berjumlah sekitar 3000 orang. Namun, dia tidak terlena karena menarik minat pemuda masa kini buat belajar agama memang tidak mudah. Sebab kalau tidak ada regenerasi, maka jemaatnya lambat laun bakal habis.
Buat menarik minat muda-mudi Nasrani Korea Selatan belajar agama, Joo mengambil konsep pembelajaran dari Amerika Serikat. Yakni ‘Theology on Tap’. Maksudnya adalah membuka ‘kelas’ agama tetapi tidak kaku. Lokasinya bisa di restoran, bar, atau lainnya. Kalau Joo biasanya memilih kedai kopi buat berbagi ilmu agamanya. Dia mengundang segala kalangan. Dari jemaat tetap, teman, hingga penganut Atheis. Topik pembahasannya juga tidak melulu soal kitab suci. Dia juga menyisipkan pembicaraan tentang masalah pribadi, sosial, hingga mengobrol soal politik. Namun, Joo juga membuka ‘pesantren kilat’ di gerejanya. Yakni belajar selama 13 pekan tentang dasar-dasar ajaran Kristen dan budayanya. Dengan cara itu, Joo hendak menyampaikan perubahan pola pikir menyebarkan agama dengan luwes dan pesannya sampai kepada para anak muda. Juga tanpa embel-embel kepangkatan biasa menghinggapi struktur gereja.
“Dengan begitu saya bisa membalikkan anggapan tentang anak muda saat ini dan mereka semakin banyak yang beribadah di gereja,” kata Joo.
Peneliti di Universitas Kyung Hee, Seoul, Profesor Francis Jae-ryong Song, menyatakan sikap gereja yang mau berubah dan membaca zaman memang baik. Meski belum mampu menarik minat muda-mudi Nasrani di sana menjadi taat, tetapi patut dipuji. Menurut dia, hal itu sama saja seperti praktik persaingan bisnis, di mana penjual mesti memikat sebanyak mungkin pembeli. Sayang, kata dia, masih ada sesuatu mengganjal di dalam gereja membikin anak muda antipati.
“Kebanyakan gereja di Korea otoriter dan tidak ada ruang interaksi atau komunikasi yang demokratis. Ini yang menyebabkan anak muda enggan terlibat dalam gereja,” kata Song.
Song menyatakan, pola komunikasi tetua gereja saat ini masih terpaku pada gaya lama, sehingga mengakibatkan muda-mudi seperti terasing karena tak sesuai dengan dunia mereka saat ini.
Masalah bukan cuma di situ. Pengangguran dan skeptisisme juga faktor penyumbang mengapa anak muda Korea Selatan malas mendalami agama. Apalagi saat ini tingkat pengangguran sedang tinggi-tingginya. Di mata mereka, agama tidak menawarkan jalan keluar. Bahkan mereka juga malu kalau mesti ke gereja. Khawatir minder ketika ditanya soal pekerjaan. Kalau sudah begitu, mereka berpikir mendingan tidak usah ke gereja sama sekali. Apalagi saat mencari kerja, mereka mesti menghabiskan banyak waktu buat mengisi formulir dan ujian.
“Anak muda Korea Selatan zaman sekarang terjebak siklus belajar di kampus, terus mendapat kerja nyaman. Mereka juga dimanjakan teknologi dan leyeh-leyeh. Semua hal itu menjauhkan mereka dari gereja,” kata pengajar di Universitas Korea, Profesor Andrew Eungi Kim.
Menurut Kim, anak-anak muda Korea Selatan saat ini rata-rata sudah terpelajar ketimbang orang tuanya. Maka mereka juga lebih berpikir kalau harus menentukan identitas agamanya. Pendapat umumnya, mereka merasa agama dan gereja tidak menyediakan jawaban terhadap permasalahan masa kini.
“Memang bagus datang ke gereja sesekali, tetapi saya lebih memilih mencari pekerjaan. Pergi ke gereja tidak terlalu membantu saya dalam hal itu,” kata seorang jemaat, Kim Hyun-ah (27).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar